“capek....”
Melepas
sepatu highheels kemudian berbaring di ranjang.
Entah
kenapa hari ini begitu terasa melelahkan, mulai dari AC ruangan kantor yang
rusak, pekerjaan yang harus mengejar deadline, customer yang sepertinya selalu
saja “bermasalah”, sampai dengan urusan acara peringatan tahunan yang sekali
lagi aku di tunjuk sebagai protokol upacara.
“Bete......”
Mengambil
secangkir gelas, mengisinya dengan air putih dingin hingga penuh lalu
meminumnya sampai tetes terakhir.
Seolah-olah
tidak peduli dengan tenggorokan yang semakin meradang.
Bukanya
aku tidak suka bila di percaya menjadi petugas upacara, hanya saja mungkin
setiap 17 agustus, momment-nya kurang tepat. Selalu saja ada masalah dengan
suara ku. Biarpun aku memohon tetap saja tidak ada yang bersedia untuk
menggantikan. Sedih rasanya.
“Duh
sakitnya...”
Meluruskan
kaki yang sakit karena hampir 1 jam berdiri untuk gladi bersih upacara HUT RI
ke 71. Jari kaki ku terasa kaku, ini karena terlalu lama terlipat di ujung sepatu
lancip itu. Mengapa di ciptakan sepatu seperti itu ? haruskan cantik itu
dinilai dari sepatunya yang menyiksa itu? Haaaaa yasudahlah... namanya juga
karyawan, ya harus ikuti perintah perusahaan.
masih
sensi sepertinya, karena teguran akibat memakai sepatu flat saat gladi tadi
sore.
“saat
saat seperti ini hanya handphone dan wifii yang mengerti aku”
Sejurus
kemudian mencari ponsel putih di tasnya.
Scroll
down, touch, touch....
Hmmm...
instagram gosip artis selalu jadi hiburan di sore hari yang menyenangkan. Entah
kenapa aku bisa ketagihan menjadi tamu di halaman itu. Sepertinya aku sudah
menjadi korban sosial media. Hohooooo...
Hingga
akhirnya sampailah perhatian saya ke sebuah cuitan artis india yang banyak di
idolakan ibu ibu dan calon ibu ibu seperti saya hoho...
Wow...
Yusra Mardini? Siapakan dia? Sampai hrithik rosan menyebutnya dengan “a real
life hero”?
Dengan
ke-kepoan tingkat tinggi, akhirnya saya
mencari berita tentang yusra ini. Dan setelah membaca 3-5 artikel yang memuat
tentang beritanya. Rasanya sesak sekali di dada. Bukan karena sakit asma atau
ispa, tapi sesak karena bangga dan terharu. Nggak heran jika artis sekaliber
hrithik sampai memujinya. Memang dia layak untuk di puji.
Jadi
teman teman, YUSRA MARDINI adalah seorang perenang gaya kupu-kupu olimpiade
brazil 2016 di rio de jeneiro.
Mungkin sekilas kalian melihat dari fotonya biasa saja seperti atlit renang
pada umumnya, tetapi siapa sangka, gadis berusia 18 tahun tersebut telah
melewati banyak perjuangan keras dari negara kelahirannya Suriah hingga berada
di Jerman.
Segala hal tentang perjalanan Mardini menuju Olimpiade Rio tak seperti atlet
kebanyakan. Dia akan berkompetisi dan ambil bagian di atlit tim pengungsi,
sebuah takdir yang tak pernah terbayangkan kurang dari setahun lalu saat dia
berada di lautan Mediterania, berenang untuk masa depannya.
Kepada New York Times, Selasa (2/8/2016), Mardini menceritakan perjuangannya untuk
sampai di Jerman, negara yang kini memberinya fasilitas untuk kembali berenang,
dan untuk kembali hidup selayaknya manusia biasa tanpa khawatir serangan bom
dan suara tembakan yang membabi buta.
Bulan Agustus tahun lalu, Mardini dan saudara perempuannya Sarah meninggalkan
Suriah dan melewati sebuah perjalanan panjang nan melelahkan melalui Lebanon,
Turki, Yunani, hingga negara Balkan, Eropa Tengah dan tiba di Jerman.
Perjalanan itu, menurutnya, merupakan perjalanan hidup dan mati, ketika kapal
yang dia tumpangi bersama 20 orang pengungsi lainnya mengalami kerusakan mesin
di antara Turki dan Yunani. Dia bersama Sarah yang juga merupakan seorang
perenang, terjun ke dalam air dan berusaha untuk menolong agar kapal tersebut
tak tenggelam di lautan dingin Mediterania.
"Saya sudah terbiasa berada di dalam air sejak kecil," ujar Mardini
yang tumbuh di Daraya, sebuah wilayah di pinggiran kota Damaskus.
Ayahnya yang merupakan pelatih renang, telah melatih Mardini sejak dia berumur
3 tahun. Setelah itu Mardini mengikuti sejumlah kejuaraan renang untuk tim
nasional Suriah dan mendapatkan dukungan dari Komite Olimpiade Suriah.
Namun kehidupan yang tenang itu mulai terusik di tahun 2011 saat dirinya
berumur 13 tahun. Dia melihat kehidupannya yang normal secara perlahan berubah
menjadi semakin buruk.
"Tiba-tiba saja anda tak bisa bepergian sesuka hati, atau ketika ibumu
menghubungimu yang sedang berada di jalan untuk pulang ke rumah karena telah
terjadi sesuatu," ujarnya. "Sekolah akan ditutup selama beberapa
hari, atau berita seseorang tertembak dan anda harus menyelamatkan diri,"
tambah Mardini.
Walaupun perang mulai berkecamuk, Mardini dan teman-teman sebayanya di sekolah
berusaha untuk tak membicarakan hal tersebut dan menjalani kehidupan selayaknya
remaja biasa. "Hal tersebut sungguh mengganggu. Pada awalnya semua orang
membicarakan hal itu, namun beberapa tahun setelahnya mereka akan berkata 'oke,
aku mungkin akan mati, namun biarkan aku menikmati hidup," tuturnya
mengenang.
Tahun 2012 rumah keluarganya hancur lebur akibat tragedi Daraya, satu dari
tragedi pembunuhan terburuk di awal konflik negara tersebut. Sejak saat itu,
situasi semakin tak terkendali. Dua rekannya sesama perenang terbunuh saat
sebuah bom meledak di fasilitas tempat mereka berlatih.
"Saat itu saya berkata kepada ibu, bahwa saya muak dengan perang ini. Ibu
kemudian berkata 'baiklah, aku akan mencari seseorang yang dapat dipercaya
untuk membawamu pergi dari sini' kata Mardini menirukan perkataan ibunya.
Agustus 2015, dia dan Sarah meninggalkan Suriah dan terbang dari Damaskus
menuju Beirut dan Istambul. Di sana mereka bergabung dengan pengungsi lainnya
dalam sebuah grup pengungsi yang berisikan 30 orang. Mereka kemudian melakukan
perjalanan di dalam hutan menuju Izmir, Turki, sebuah wilayah di pinggir pantai
sambil menunggu kapal yang akan membawa mereka ke pulau Lesbos di Yunani.
Empat hari berada di dalam hutan, Mardini dan saudaranya bersama 18 orang
lainnya termasuk seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun, diangkut menggunakan
sebuah kapal yang seharusnya hanya dapat mengangkut 6 orang, namun dipaksakan
untuk 20 orang penumpang. Pada percobaan pertama mereka tertangkap petugas
perbatasan dan dikirim balik. Di kesempatan kedua, mesin kapal tiba-tiba mati.
Dari 20 orang di kapal, hanya Mardini, Sarah, dan 2 orang pria yang bisa
berenang. Sehingga mereka berempat terjun ke dalam laut. Saat itu pukul 7
malam, arus balik membuat lautan terasa kejam dan tak bersahabat. Setelah
berenang selama 3,5 jam akhirnya mereka tiba di daratan. Saat itu, kondisinya
sudah teramat lelah dan hampir pingsan ketika menyentuh pasir pantai.
Tiba di Lesbos, bukan berarti perjuangan mereka berakhir. Mereka harus berjalan
selama 4 hari, tidur di taman atau gereja. Meski mereka memiliki uang, taksi
menolak untuk mengangkut mereka. Restoran pun kerap menolak untuk melayani
pengungsi tersebut.
Kedua saudari ini melakukan perjalanan dengan jalan kaki, bus atau berlari dari
Yunani menuju Macedonia hingga Serbia dan Hungaria. Mereka sedang berada di
Budapest ketika otoritas Hungaria menutup stasiun utama kereta api untuk
pengungsi. Banyak orang, termasuk saudara Mardini, menghabiskan ratusan euro
untuk tiket kereta yang kemudian berakhir dengan penolakan, yang menyebabkan
ratusan pengungsi melakukan protes di luar stasiun.
Namun entah bagaimana mereka dapat keluar dari Hungaria dan melanjutkan
perjalanan melewati Austria hingga tiba di Jerman, di mana mereka berakhir di
sebuah kamp pengungsi di Berlin, lalu berbagi tenda dengan 6 orang pria sesama
pengungsi.
"Saat
itu di hadapan saya semua tampak abu-abu. Rasanya seperti seluruh hidup sata
lewat di mata saya," katanya yang mengaku berenang menggunakan gaya dada
sambil menarik perahu. Perjalanan panjang tersebut membawa Mardini ke Jerman,
sebagai tempat kamp pengungsi sementaranya. Salah satu pertanyaan pertama yang
diajukan Mardini di kota asing tersebut adalah dimana kolam renang terdekat.
Penerjemah berbahasa Mesir pun menunjukkan Wasserfreunde Spandau 04, salah satu
klub renang tertua di Berlin. "Mereka melihat teknik renang kami, melihat
itu bagus, mereka menerima kami," kata Mardini. Pelatih renang terkesan
dengan teknik renang kedua bersaudara asal Suriah itu, terutama Mardini yang
kini didukung oleh Komite Olimpiade Suriah.
Setelah
empat pekan pelatihan, pelatih Mardini, Sven Spnnerkrebs, mulai membuat rencana
untuk Olimpiade Tokyo pada 2020. Namun Maret tahun ini, International
Olympic Committee (IOC) mengumumkan bahwa akan ada tim dari para pengungsi di
Olimpiade musim panas di Rio, Brasil. Nama Mardini masuk dalam 43 pengungsi
yang dicatat IOC akan bermain dalam Olimpiade.
Kontan saja "pesan harapan" tersebut membuatnya menjadi buruan media.
Wawancara wartawan dari Jepang, Amerika Serikat dan seluruh Eropa bahkan
membuat pelatihnya harus melempar telepon Mardini ke kulkas.
Perhatian-perhatian dari dunia membuatnya sulit, tapi dia mengaku tak takut
harapan atau tekanan.
"Saya ingin menginspirasi semua orang. Ini bukan berarti saya harus
membantu, tapi jauh dalam hati, saya ingin membantu pengungsi lain,"
katanya. Dua bulan sebelum Olimpiade Rio, Mardini menerima sebuah email dari
IOC. Saat membacanya perasaan Mardini campur aduk. Gembira, haru.
Dia
akan bersaing di Olimpiade. "Saya sangat senang. Ini mimpi yang menjadi
kenyataan, Olimpiade adalah segalanya, ini kesempatan hidup,"
ujarnya. Pelatih menggambarkannya sebagai sosok yang fokus.
Ayahnya
mengatakan, putrinya telah menghidupkan mimpinya. Betapa bangganya ayahnya
memiliki seorang anak yang berani untuk menwujudkan mimpinya. Apalagi mimpi itu
tidak hanya mimpinya seorang, tetapi mimpi itu juga mimpi seluruh rakyat
suriah.
Yusra
Mardini bukan hanya menjadi pahlawan bagi orang-orang yang ia selamatkan. Ia
juga membuka mata dunia. Ia memberi kita inspirasi yang sangat berharga. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah Olimpiade, Yusra membela sebuah 'negara' yang tak
memiliki bendera dan lagu kebangsaan.
Speechleess..
Tidak
adalagi yang bisa saya katakan setelah membaca kisahnya. Betapa berat
perjuanngan gadis 17 tahun itu untuk meraih mimpinya. Betapa kuat keteguhanya
untuk percaya kepada mimpi-mimpinya sekalipun pada kenyataanya banyak orang
berkata tidak mungkin.
Lalu..
Apa kabar
dengan aku ini ?
Aku yang
pemalas. Aku yang pengeluh dan tidak pandai bersyukur.
Astaghfirullahaladzim....
Alhamdulillahirobbilalamin...
Semakin
banyak buktinya sekarang kasih sayang Allah kepada umatnya. Sangat indah
sekali, baru saja 15 menit yang lalu deretan omelan atas ketidak syukuran ku
kepada nikmat Mu yang Langsung Kau jawab dengan kisah inspiratif Yusra Mardini.
Bukanya
mencari teman yang bisa disalahkan juga, tapi pasti banyak juga di luar sana
yang seperti aku ini.
Baiklah
ini adalah catatan untuk diriku sendiri saja,
bagi
kalian yang seperti aku,
semoga tersindir....
“Hei..
kamu anak muda!!! Bukankah kamu hanya melaksanakan upacara seminggu satu kali
di hari senin? Atau bahkan setahun sekali di saat hari kemerdekaan bangsamu ?
kenapa kamu masih saja mengeluh haaaa???”
“kamu
lupa? Atau pura pura tidak tau? Atau bahkan masa bodoh tentang pejuangan para
pahlawan yang rela untuk mempertaruhkan nyawanya untuk bisa mengibarkan bendera
merah putih ?”
“kamu
tidak perlu susah susah angkat senjata untuk bisa berkumpul memperingati hari
kemerdekaan bangsamu!!! Kamu tidak perlu berdarah merasakan peluru menembus
kulitmu!!! Masa berdiri se-jam saja selalu mengeluh?”
“apa
kamu tidak pernah belajar sejarah? Naskah yang kamu baca atau dengarkan
disetiap upacara itu di rumuskanya dengan berdarah-darah!!! Jadi tolong bacalah
dengan semangat dan dengarlah dengan khidmat!!!”
“kamu
kira lagu Indonesia Raya itu hanya sekedar irama dengan sajak saja? Tentu saja
tidak!!! Lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan kita yang di ciptakan dengan
harapan agar setiap rakyat Indonesia yang mendengarnya, terutama kau anak
mudaaaa!!! Tidak hanya telinganya yang mendengar lagu tesebut tetapi juga
hatinya yang terdalam tersentuh oleh setiap makna liriknya.”
“hei
anak mudaaaa!!! Cobalah kau resapi lagu itu!! Sehingga kau tidak lagi menyanyikanya
dengan sekedarnya saja! Dimana rasa banggamu terhadap lagu kebangsaanmu? Jangan
hanya lagu barat saja kau hafalkan dan resapi hingga menetes air matamu!!!”
“jika
kau tidak bisa merasakan peperangan di masa lampau, maka sekarang aku mohon, tegakkan
badanmu! Hormatlah sebaik baiknya hormat kepada sang merah putih! Walau hanya
dalam upacara.”