Selasa, 16 Agustus 2016

Yusra Mardini



“capek....”

Melepas sepatu highheels kemudian berbaring di ranjang.
Entah kenapa hari ini begitu terasa melelahkan, mulai dari AC ruangan kantor yang rusak, pekerjaan yang harus mengejar deadline, customer yang sepertinya selalu saja “bermasalah”, sampai dengan urusan acara peringatan tahunan yang sekali lagi aku di tunjuk sebagai protokol upacara.

“Bete......”

Mengambil secangkir gelas, mengisinya dengan air putih dingin hingga penuh lalu meminumnya sampai tetes terakhir.
Seolah-olah tidak peduli dengan tenggorokan yang semakin meradang.
Bukanya aku tidak suka bila di percaya menjadi petugas upacara, hanya saja mungkin setiap 17 agustus, momment-nya kurang tepat. Selalu saja ada masalah dengan suara ku. Biarpun aku memohon tetap saja tidak ada yang bersedia untuk menggantikan. Sedih rasanya.

“Duh sakitnya...”

Meluruskan kaki yang sakit karena hampir 1 jam berdiri untuk gladi bersih upacara HUT RI ke 71. Jari kaki ku terasa kaku, ini karena terlalu lama terlipat di ujung sepatu lancip itu. Mengapa di ciptakan sepatu seperti itu ? haruskan cantik itu dinilai dari sepatunya yang menyiksa itu? Haaaaa yasudahlah... namanya juga karyawan, ya harus ikuti perintah perusahaan.
masih sensi sepertinya, karena teguran akibat memakai sepatu flat saat gladi tadi sore.
“saat saat seperti ini hanya handphone dan wifii yang mengerti aku”
Sejurus kemudian mencari ponsel putih di tasnya.

Scroll down, touch, touch.... 

Hmmm... instagram gosip artis selalu jadi hiburan di sore hari yang menyenangkan. Entah kenapa aku bisa ketagihan menjadi tamu di halaman itu. Sepertinya aku sudah menjadi korban sosial media. Hohooooo...
Hingga akhirnya sampailah perhatian saya ke sebuah cuitan artis india yang banyak di idolakan ibu ibu dan calon ibu ibu seperti saya hoho...



Wow... Yusra Mardini? Siapakan dia? Sampai hrithik rosan menyebutnya dengan “a real life hero”?
Dengan  ke-kepoan tingkat tinggi, akhirnya saya mencari berita tentang yusra ini. Dan setelah membaca 3-5 artikel yang memuat tentang beritanya. Rasanya sesak sekali di dada. Bukan karena sakit asma atau ispa, tapi sesak karena bangga dan terharu. Nggak heran jika artis sekaliber hrithik sampai memujinya. Memang dia layak untuk di puji.
Jadi teman teman, YUSRA MARDINI adalah seorang perenang gaya kupu-kupu olimpiade brazil 2016 di rio de jeneiro.
Mungkin sekilas kalian melihat dari fotonya biasa saja seperti atlit renang pada umumnya, tetapi siapa sangka, gadis berusia 18 tahun tersebut telah melewati banyak perjuangan keras dari negara kelahirannya Suriah hingga berada di Jerman.

Segala hal tentang perjalanan Mardini menuju Olimpiade Rio tak seperti atlet kebanyakan. Dia akan berkompetisi dan ambil bagian di atlit tim pengungsi, sebuah takdir yang tak pernah terbayangkan kurang dari setahun lalu saat dia berada di lautan Mediterania, berenang untuk masa depannya.

Kepada New York Times, Selasa (2/8/2016), Mardini menceritakan perjuangannya untuk sampai di Jerman, negara yang kini memberinya fasilitas untuk kembali berenang, dan untuk kembali hidup selayaknya manusia biasa tanpa khawatir serangan bom dan suara tembakan yang membabi buta.

Bulan Agustus tahun lalu, Mardini dan saudara perempuannya Sarah meninggalkan Suriah dan melewati sebuah perjalanan panjang nan melelahkan melalui Lebanon, Turki, Yunani, hingga negara Balkan, Eropa Tengah dan tiba di Jerman.

Perjalanan itu, menurutnya, merupakan perjalanan hidup dan mati, ketika kapal yang dia tumpangi bersama 20 orang pengungsi lainnya mengalami kerusakan mesin di antara Turki dan Yunani. Dia bersama Sarah yang juga merupakan seorang perenang, terjun ke dalam air dan berusaha untuk menolong agar kapal tersebut tak tenggelam di lautan dingin Mediterania.











"Saya sudah terbiasa berada di dalam air sejak kecil," ujar Mardini yang tumbuh di Daraya, sebuah wilayah di pinggiran kota Damaskus.

Ayahnya yang merupakan pelatih renang, telah melatih Mardini sejak dia berumur 3 tahun. Setelah itu Mardini mengikuti sejumlah kejuaraan renang untuk tim nasional Suriah dan mendapatkan dukungan dari Komite Olimpiade Suriah.

Namun kehidupan yang tenang itu mulai terusik di tahun 2011 saat dirinya berumur 13 tahun. Dia melihat kehidupannya yang normal secara perlahan berubah menjadi semakin buruk.

"Tiba-tiba saja anda tak bisa bepergian sesuka hati, atau ketika ibumu menghubungimu yang sedang berada di jalan untuk pulang ke rumah karena telah terjadi sesuatu," ujarnya. "Sekolah akan ditutup selama beberapa hari, atau berita seseorang tertembak dan anda harus menyelamatkan diri," tambah Mardini.

Walaupun perang mulai berkecamuk, Mardini dan teman-teman sebayanya di sekolah berusaha untuk tak membicarakan hal tersebut dan menjalani kehidupan selayaknya remaja biasa. "Hal tersebut sungguh mengganggu. Pada awalnya semua orang membicarakan hal itu, namun beberapa tahun setelahnya mereka akan berkata 'oke, aku mungkin akan mati, namun biarkan aku menikmati hidup," tuturnya mengenang.




Tahun 2012 rumah keluarganya hancur lebur akibat tragedi Daraya, satu dari tragedi pembunuhan terburuk di awal konflik negara tersebut. Sejak saat itu, situasi semakin tak terkendali. Dua rekannya sesama perenang terbunuh saat sebuah bom meledak di fasilitas tempat mereka berlatih.

"Saat itu saya berkata kepada ibu, bahwa saya muak dengan perang ini. Ibu kemudian berkata 'baiklah, aku akan mencari seseorang yang dapat dipercaya untuk membawamu pergi dari sini' kata Mardini menirukan perkataan ibunya.

Agustus 2015, dia dan Sarah meninggalkan Suriah dan terbang dari Damaskus menuju Beirut dan Istambul. Di sana mereka bergabung dengan pengungsi lainnya dalam sebuah grup pengungsi yang berisikan 30 orang. Mereka kemudian melakukan perjalanan di dalam hutan menuju Izmir, Turki, sebuah wilayah di pinggir pantai sambil menunggu kapal yang akan membawa mereka ke pulau Lesbos di Yunani.

Empat hari berada di dalam hutan, Mardini dan saudaranya bersama 18 orang lainnya termasuk seorang bocah laki-laki berusia 6 tahun, diangkut menggunakan sebuah kapal yang seharusnya hanya dapat mengangkut 6 orang, namun dipaksakan untuk 20 orang penumpang. Pada percobaan pertama mereka tertangkap petugas perbatasan dan dikirim balik. Di kesempatan kedua, mesin kapal tiba-tiba mati.

Dari 20 orang di kapal, hanya Mardini, Sarah, dan 2 orang pria yang bisa berenang. Sehingga mereka berempat terjun ke dalam laut. Saat itu pukul 7 malam, arus balik membuat lautan terasa kejam dan tak bersahabat. Setelah berenang selama 3,5 jam akhirnya mereka tiba di daratan. Saat itu, kondisinya sudah teramat lelah dan hampir pingsan ketika menyentuh pasir pantai.

Tiba di Lesbos, bukan berarti perjuangan mereka berakhir. Mereka harus berjalan selama 4 hari, tidur di taman atau gereja. Meski mereka memiliki uang, taksi menolak untuk mengangkut mereka. Restoran pun kerap menolak untuk melayani pengungsi tersebut.

Kedua saudari ini melakukan perjalanan dengan jalan kaki, bus atau berlari dari Yunani menuju Macedonia hingga Serbia dan Hungaria. Mereka sedang berada di Budapest ketika otoritas Hungaria menutup stasiun utama kereta api untuk pengungsi. Banyak orang, termasuk saudara Mardini, menghabiskan ratusan euro untuk tiket kereta yang kemudian berakhir dengan penolakan, yang menyebabkan ratusan pengungsi melakukan protes di luar stasiun.

Namun entah bagaimana mereka dapat keluar dari Hungaria dan melanjutkan perjalanan melewati Austria hingga tiba di Jerman, di mana mereka berakhir di sebuah kamp pengungsi di Berlin, lalu berbagi tenda dengan 6 orang pria sesama pengungsi.

"Saat itu di hadapan saya semua tampak abu-abu. Rasanya seperti seluruh hidup sata lewat di mata saya," katanya yang mengaku berenang menggunakan gaya dada sambil menarik perahu. Perjalanan panjang tersebut membawa Mardini ke Jerman, sebagai tempat kamp pengungsi sementaranya. Salah satu pertanyaan pertama yang diajukan Mardini di kota asing tersebut adalah dimana kolam renang terdekat.




Penerjemah berbahasa Mesir pun menunjukkan Wasserfreunde Spandau 04, salah satu klub renang tertua di Berlin. "Mereka melihat teknik renang kami, melihat itu bagus, mereka menerima kami," kata Mardini. Pelatih renang terkesan dengan teknik renang kedua bersaudara asal Suriah itu, terutama Mardini yang kini didukung oleh Komite Olimpiade Suriah.
Setelah empat pekan pelatihan, pelatih Mardini, Sven Spnnerkrebs, mulai membuat rencana untuk Olimpiade Tokyo pada 2020. Namun Maret tahun ini,  International Olympic Committee (IOC) mengumumkan bahwa akan ada tim dari para pengungsi di Olimpiade musim panas di Rio, Brasil. Nama Mardini masuk dalam 43 pengungsi yang dicatat IOC akan bermain dalam Olimpiade.

Kontan saja "pesan harapan" tersebut membuatnya menjadi buruan media. Wawancara wartawan dari Jepang, Amerika Serikat dan seluruh Eropa bahkan membuat pelatihnya harus melempar telepon Mardini ke kulkas. Perhatian-perhatian dari dunia membuatnya sulit, tapi dia mengaku tak takut harapan atau tekanan.

"Saya ingin menginspirasi semua orang. Ini bukan berarti saya harus membantu, tapi jauh dalam hati, saya ingin membantu pengungsi lain," katanya. Dua bulan sebelum Olimpiade Rio, Mardini menerima sebuah email dari IOC. Saat membacanya perasaan Mardini campur aduk. Gembira, haru.
Dia akan bersaing di Olimpiade. "Saya sangat senang. Ini mimpi yang menjadi kenyataan, Olimpiade adalah segalanya, ini kesempatan hidup," ujarnya.  Pelatih menggambarkannya sebagai sosok yang fokus.
Ayahnya mengatakan, putrinya telah menghidupkan mimpinya. Betapa bangganya ayahnya memiliki seorang anak yang berani untuk menwujudkan mimpinya. Apalagi mimpi itu tidak hanya mimpinya seorang, tetapi mimpi itu juga mimpi seluruh rakyat suriah.
Yusra Mardini bukan hanya menjadi pahlawan bagi orang-orang yang ia selamatkan. Ia juga membuka mata dunia. Ia memberi kita inspirasi yang sangat berharga. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Olimpiade, Yusra membela sebuah 'negara' yang tak memiliki bendera dan lagu kebangsaan.






Speechleess..

Tidak adalagi yang bisa saya katakan setelah membaca kisahnya. Betapa berat perjuanngan gadis 17 tahun itu untuk meraih mimpinya. Betapa kuat keteguhanya untuk percaya kepada mimpi-mimpinya sekalipun pada kenyataanya banyak orang berkata tidak mungkin. 

Lalu..
Apa kabar dengan  aku ini ?
Aku yang pemalas. Aku yang pengeluh dan tidak pandai bersyukur.
Astaghfirullahaladzim....
Alhamdulillahirobbilalamin...

Semakin banyak buktinya sekarang kasih sayang Allah kepada umatnya. Sangat indah sekali, baru saja 15 menit yang lalu deretan omelan atas ketidak syukuran ku kepada nikmat Mu yang Langsung Kau jawab dengan kisah inspiratif Yusra Mardini.
Bukanya mencari teman yang bisa disalahkan juga, tapi pasti banyak juga di luar sana yang seperti aku ini.
Baiklah ini adalah catatan untuk diriku sendiri saja,
bagi kalian yang seperti aku,
 semoga tersindir....

“Hei.. kamu anak muda!!! Bukankah kamu hanya melaksanakan upacara seminggu satu kali di hari senin? Atau bahkan setahun sekali di saat hari kemerdekaan bangsamu ? kenapa kamu masih saja mengeluh haaaa???”

“kamu lupa? Atau pura pura tidak tau? Atau bahkan masa bodoh tentang pejuangan para pahlawan yang rela untuk mempertaruhkan nyawanya untuk bisa mengibarkan bendera merah putih ?”

“kamu tidak perlu susah susah angkat senjata untuk bisa berkumpul memperingati hari kemerdekaan bangsamu!!! Kamu tidak perlu berdarah merasakan peluru menembus kulitmu!!! Masa berdiri se-jam saja selalu mengeluh?”

“apa kamu tidak pernah belajar sejarah? Naskah yang kamu baca atau dengarkan disetiap upacara itu di rumuskanya dengan berdarah-darah!!! Jadi tolong bacalah dengan semangat dan dengarlah dengan khidmat!!!”

“kamu kira lagu Indonesia Raya itu hanya sekedar irama dengan sajak saja? Tentu saja tidak!!! Lagu Indonesia Raya adalah lagu kebangsaan kita yang di ciptakan dengan harapan agar setiap rakyat Indonesia yang mendengarnya, terutama kau anak mudaaaa!!! Tidak hanya telinganya yang mendengar lagu tesebut tetapi juga hatinya yang terdalam tersentuh oleh setiap makna liriknya.”

“hei anak mudaaaa!!! Cobalah kau resapi lagu itu!! Sehingga kau tidak lagi menyanyikanya dengan sekedarnya saja! Dimana rasa banggamu terhadap lagu kebangsaanmu? Jangan hanya lagu barat saja kau hafalkan dan resapi hingga menetes air matamu!!!”
“jika kau tidak bisa merasakan peperangan di masa lampau, maka sekarang aku mohon, tegakkan badanmu! Hormatlah sebaik baiknya hormat kepada sang merah putih! Walau hanya dalam upacara.”










Tidak ada komentar:

Posting Komentar